Senin, 15 Juni 2009

TELAGA ITU BERNAMA NU

TELAGA ITU BERNAMA NU

Oleh: Kamal al-martawie

Membincang kata NU [Nahdlatul ‘Ulama, kebangkitan ‘ulama] bagi sebagian besar masyarakat Indonesia seolah menguak kembali rasa yang cukup dalam akan kerinduan, kehausan, kepengapan keberagamaan dan kemasyarakatan [sosioreligious, sosiocultural] yang terjadi di Indonesia dan di seantero persada yang dihuni oleh manusia. 83 tahun yang lalu, kegelisahan ini pernah terjadi dikalangan akademisi, ulama, pengusaha, birokrat dan masyarakat cacah, dimana manusia seperti hayam panyambungan teu puguh indung bapa yang hidup di cakrawala gersang. Kemunculan NU sebagai komitmen dan kesungguhan para ulama untuk singkil dan andil dalam pergumulan keberagamaan dan kemasyarakatan seolah menjadi telaga yang memberi harapan kehidupan baru untuk hidup dan menghidupi bagi seluruh masyarakat dunia.

Hadrotu Syaikh K.H Hasim Asy’ari sebagai bagian dari motor penggerak NU mampu mewakafkan dirinya untuk menembus sekat kejumudan dan kemandegan situasi dengan beberapa sentuhan diantaranya: Pertama, dengan siraman ilmu amaliyah yang semula diwadahi taswirul afkar untuk forum terbatas, sedangkan untuk forum umum dipasilitasi yaumul ijtima’ atau lailatul ijtima’ yang dilaksanakan disemua langgar, mesjid, mejlis ta’lim, pesantren bahkan di rumah-rumah. Cara tersebut memberi kontribusi yang sangat besar bagi semua kalangan paling tidak ada ruang berbagi dan curhat minimal ada semacam pencerahan kesadaran bahwa yang patut dipersalahkan itu bukan hanya yang lain tapi juga diri kita.

Kedua, selain konsep dalil yang dimiliki para ‘ulama, andil dalam meneyelesaikan problem masyarakat ditunjukan dengan aksi riil menciptakan keamanan melalui laskar sabilillah dan hizbullah serta membangun kekuatan ekonomi dalam wadah Nahdlotu tujjar yang menghimpun potensi petani, pedagang dan pengrajin sebagai bagian utuh jihad kontekstual.

Ijtihad NU seperti ini sanggup menciptakan masyarakat yang mandiri dan harmoni walaupun berada dalam gempuran imperilis, sehingga pengakuan masyarakat terhadap NU bagai segara madu dalam kehausan. Wajar bila masyarakat Madura menyebut NU sebagai agama karena NU memberi pencerahan.

Seiring perjalanan waktu, kondisi chaos itu terulang lagi, asap membumbung lagi, luka lama tertoreh lagi. Hal ini memang sudah digariskan dalam firman-Nya “watilkal ayyamu nudawiluha bainannas” bahwa sejarah pasti akan berulang. Kondisi keberagamaan kita selalu disuguhkan dengan berita aliran sesat, fatwa sesat yang menyesatkan, islam galak dan adanya beragam reduksi atau penyempitan keberagamaan. Benturan peradaban antar person dan antar bangsa, himpitan ekonomi, hilangnya nasionalisme sampai musnahnya pigur pemimpin masyarakat seakan mengajak masyarakat untuk tidak lagi bisa menikmati rasa, harapan dan kemampuan untuk bertahan hidup adalah puncak persoalan yang sedang didera. Saya tidak bermaksud menuduh siapapun apalagi Tuhan yang membuat kondisi seperti ini, hanya saja masyarakat terasa sulit untuk bisa keluar dari jurang yang teramat dalam ini.

Lain dengan 83 tahun silam disaat ulama dicap ortodoks, feodal dan kolot, NU mampu memberikan solusi cerdas dengan nalar Aswaja [ahlu sunnah wal jama’ah] sederhana, kini umat cuang-cieung dalam ruang pengap, gelap nan sempit sehingga terus bertabrakan satu sama lain dengan pengorbanan yang tak terkirakan. Siapa yang bertanggung jawab mewabahnya sekte keagamaan? Adakah ulama peduli TKW yang dinistakan majikannya di negeri orang? Mengapa harus ada kasus zakat maut gaya pasuruan? Kenapa hutan menjadi gundul? Dan beragam persoalan lain yang semakin hari menambah kehausan dan kegersangan cultural yang pada puncaknya menemukan persoalan lama namun selalu disembunyikan “mungkinkah kita menyadari bahwa persoalan sesungguhnya yaitu keringnya telaga yang bernama NU”.

Akar persoalan internal

Sebagai bagian dari struktur dan culture NU, penulis “meng-asumsi-kan” akar persoalan keringnya telaga NU disebabkan oleh dua hal: Pertama, adanya disorientasi perjuangan para petinggi dan pengurus NU sehingga ada kebingungan sejarah untuk menyejarahkan NU sebagai wadah perjuangan keagamaan dan kemasyarakatan [Diniyyah-ijtimaiyah]. Maraknya para pupuhu organisasi untuk berebut bursa legislative dan eksekutif malah menimbulkan ketidakjelasan posisi, daya tawar bahkan orientasi pemberdayaan ideal sesungguhnya, atau malah memperdayakan? Tafsir ulang kepemimpinan model aswaja yang melanggengkan Islam rahmatan lilalamin hampir tak ketara riaknya, yang ada hanyalah system politik konvensional warisan Persia dan Romawi dengan corak Barbarisme dan Amerikanisme dengan intrik, uang, bualan dan pencitraan sebagai jurusnya.

Islam bukan sebuah isme yang hendak ditarik menjadi ideology politik Negara oleh sebagian ormas yang berazaskan Islam dalam konstitusi syari’at, NU memperjuangkan bagaimana nilai-nilai syaria’at menjadi ruh dan bermanfaat untuk semua masyarakat bangsa. Mabadi khairu ummah telah cukup memberikan dasar system perjuangan social yang bersifat universal. Banyak yang belum berani jujur tentang ketidaktahuan apa sebenarnya yang akan kita cari dan apa yang dibutuhkan masyarakat sekarang.

Kedua, lemahnya regenerasi yang memungkinkan rapuhnya sanad dan nilai organisasi telah menggerus kebesaran dan ketajaman nalar sehingga terjadilah apa yang disebut nyabut nyere ti puhu, beuki tungtung beunki leutik. Ikatan Pelajar NU dan Ikatan Pelajar Puteri NU [IPNU-IPPNU] sebagai gerbang kaderisasi nahdliyyin jarang mendapat perhatian dan arahan sepuhnya, sehingga gerakannya mengikuti arus yang sedang mengalir. Mungkin saja liang sireum sekalipun akan dimasukinya tergantung siapa yang mengajaknya. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia [PMII] walaupun bukan banom NU namun yang intens dan komitmen sebagai garda inteleklnya NU sering dicurigai masuk angin bahkan tak jarang dianggap malin kundang. Belum lagi Ansor, Muslimat, Patayat dan badan otonom lainnya jarang disuguhi dengan kitab salafi sebagai referensi namun politiklah sebagai kutubulmu’tabaroh.

Rekomendasi

Tarekah sederhana yang mesti dilakukan NU demi memupus kekecewaan cultural adalah melalui pembenahan structural dulu diantaranya: [1] menjadikan Asawaja sebagai alat bedah atau pisau analisis pengembangan standar madzhabi [sebagai madzhab] menjadi manhaji [sebagai methodologi]. [2]. Mengukuhkan pengembangan Islam yang rahmatan lilalamin sebagai identitas keberislaman model NU. [3]. Memupuk kader NU dengan beragam keilmuan dan kemampuan [skill] khususnya dikalangan kaum muda agar kompetitif. [4].Pesantren harus dikembalikan fungsinya sebagai rumah ilmu dan moral masyarakat. Melalui pesantren inilah NU menjadikan laboratorium sikap bertindak local berfikir global. [5]. Dalam kondisi serba sulit seperti sekarang, nahdliyyin sebagai public pigur harus mampu menjadi generasi tirakat yang kuru cileuh kentel peujit [kucrit].

Semoga dengan refleksi kelahiran NU yang ke 83 ini sanggup menjawab kegundahan social yang sedang dan akan terjadi.

Kamal al-Martawie

Kader muda NU

Tinggal di Tasikmalaya

SI KABAYAN KOKOMOEUN

SI KABAYAN KOKOMOEUN


Oleh:

Kamal al-martawie

Membaca harian pagi Radar Tasikmalaya pada segmen pemilu tertuang sebuah berita jenaka adanya pimpinan pesantren yang mendukung salah satu partai politik kontestan pemilu legislatif 2009 (30 Januari 2009). Bentuk dukungan tersebut tidak menjadi persoalan bila tidak melibatkan pesantren yang notabene sebagai institusi milik masyarakat bukan milik perorangan. Persoalan lain sang kyai tak memiliki kesadaran sosial bahwa ia adalah panutan seluruh masyarakat yang kemungkinan memiliki pilihan politik berbeda dengan apa yang menjadi pilihan pak Kyai begitupun pada ranah ideal masih banyak hal yang menuntut kesungguhan ijtihad kyai selain masalah politik.

Penulis jadi teringat apa yang menjadi celotehan kang acep Zamzam Noor penyair jebolan pesantren terkemuka Tasikmalaya yang melukiskan pesantren-kabayan dan kesundaan dalam bingkai Islam sufistik (Kompas, 28 Januari 2009). Upaya sungguh-sungguh Kang Acep sebagai bentuk respon atas buku Jakob Sumarjo patut disambut oleh semua kalangan, terlebih oleh arsitek dan pekerja sosial.

Di akhir tulisannya Kang Acep Zamzam melukiskan kerinduan akan maestro Sunda yang dinamakan Kabayan untuk memimpin masyarakat bangsa ini. Karakteristik Kabayan menurut Kang Acep distilahkan dengan Kabayan jadi sufi atau Kisunda yang memiliki nalar keislaman yang rahmatan lilalamin atau Universalistik, membudaya ([integral dengan masyarakat, akrab dengan tradisi), cerdik cendikia, sedikit bodoh (rendah hati]), dan humoris.

Sejalan dengan Kang Acep, Doel Sumbang sang seniman Sunda pun mengakui bahwa kabayan itu ikon Sunda yang jenaka, sang anak angon, jujur, polos, sakti dan konyol.

Masyarakat sunda mau atau tidak sesungguhnya sudah menerima beragam warisannya seperti pesantren yang melanggengkan sikap Kabayan tadi walaupun yang sampai dan tersisa hanyalah yang terakhir [konyol] seperti yang terjadi pada kasus diatas.

Ujaran “kamarana urang sunda, araya keneh”? kata kang Doel, dan “Di tengah krisis kepemimpinan dan ruwetnya dunia perpolitikan kita, membaca dan menghayati kembali makna yang terkandung dalam cerita si Kabayan menjadi penting” kata kang Acep sejatinya bukan hanya lantunan dua insan Sunda yang sedang mencari Guru Mursyid dalam karakter Kabayan, namun keduanya sedang jadi wawakil untuk ngahaleuangkeun dan melukiskan sya’ir kesungguhan warga Pasundan khususnya untuk memiliki dan menawarkan pemimpin dan kepemimpinan bangsa ke depan.

Pesantren dan kepemimpinan sosial

Thesis yang menuturkan laku Kabayan dengan segala keanehan dan pikasebeleun adalah sebagian dari pola laku Kyai pesantren salafiyah bisa dibenarkan untuk sebagian dan dalam waktu tertentu yaitu pesantren tempo dulu, hanya saja dalam konteks kekinian telah tergambarkan ia tak lagi sebagai simbol masyarakat agraris yang menghuni tegalan pasantren namun sedang saba kota. Kabayan kontemporer jarang membuat Abah beureum beunget tapi sedang mencari perhatian kemesraan Abah demi sebuah eksistensi. Boleh saja beralibi bahwa semua itu dilakukan demi membahagiakan Nyi Iteung (masyarakat) namun pada kenyataannya Iteung sedang merana dan kesepian.

Mungkin Didi Petet pemeran Kabayan belum memerankan Kabayan Pulang Kampung setelah perjalanan saba kota hingga akhirnya ia betah di swalayan dan di parlemen yang penuh dagelan, tipuan dan kekerasan. Kabayan kini sedang dihadapkan dengan sistem borjuisme, sektarianisme dalam suguhan intrik dan janji basa basi.

Dari persfektif lain Zainal Abidin Bagir PhD Direktur Eksekutif Center For Religious and Cross-Cultural Studies, UGM Jogjakarta menuturkan kondisi seperti ini terjadi sebagai proses evolusi sosial menuju kesadaran plural sehingga nanti akan didapatkan sebuah dinamisasi dan akulturasi intelektual, moral dan spiritual yang menurut istilah pesantren disebut dengan ma’rifat.

Kema’rifatan Kabayan (Kyai pesantren) tentu tak kan terpisahkan dari Iteung (masyarakat) yang dulu telah ikrar bersama, dan hari ini sedang cemas menanti menunggu guyonan, petuah renyah, perhatian dan menggunakan kemampuan khowarikun lil adat merubah kebuntuan dengan cara yang santun.

Modal Kemampuan Pesantren Memimpin

Menganalogikan dan mengkomparasikan kabayan dengan pesantren memang tak seluruhnya pas tapi paling tidak ada titik kesamaan yang memungkinkan berjalan secara beriringan dan kenyataannya menunjukan bahwa budaya pesantren identik dengan kultur agraris. Nusantra sebagai bangsa agraris tentu dapat dikendalikan dan diurus oleh pemimpin yang memiliki nalar dan orientasi agriculture.

Kepemimpinan memang tidak selamanya identik dengan kekuasaan struktural, namun lebih kepada kemampuan mengayomi, mempertahankan, mengendalikan dan mengakses kemanfaatan kepada khalayak. Pesantren akan tetap menjadi idola dan harapan masyarakat bila memiliki beberapa modal memimpin seperti yang telah diajarkan oleh para pendahulu:

Pertama, memiliki orientasi kultural atau istilah pesantren maslahah mursalah (kemaslahatan bersama). Cita-cita tersebut harus ditunjang kemampuan menguasai bahasa cultural (language cultural skill) yang bisa dipahami oleh semua masyarakat. Indonesia bukan Arab juga bukan Ameriaka kalupun di kota sempat makan spagety, korma dan makanan lain namun itu hanya sebatas bahan komparasi tidak sampai kokomoeun.

Kaidah al-muhafadlotu alal qodimi shalih wal akhdu bil jadidil aslah (melestarikan budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik) akan menjadi tonggak dasar konsistensi (istiqomah) mempertahankan identitas hazanah pesantren, inklusif, toleran (tawazun) atas perubahan dan perkembangan masyarakat yang plural dan bergerak bebas. Lain lagi bila kaidah itu dibalik menjadi al-akhdu biljadidil aslah walmuhafadlotu alalqodi assolih tentu yang terjadi akan lain yaitu invasi yang rakus, makmak-mekmek, kokomoeun. Menurut papagon [falsafah] Sunda diistilahkan dengan moro julang ngaleupaskeun peusing- lamun teu kamerekaan nya kalaparan.

Kedua, memiliki kemampuan ngangon (daya gembala), ngemong, dan merangkul, membimbing serta mensejahterakan masyarakat dari semua kalangan, semua warna, semua level dengan penuh kasih sayang. Kita sering dihadapkan dengan pemimpin yang menekan, menakutnakuti dengan berdalih konstitusi, ayat suci-lah, sunnah rasul-lah dll yang berujung menodai, merampas, membinasakan hak dan martabat yang lain. Munculnya masyarakat bringas gaya Arab wahabisme yang selalau melegitimasi kecongkakannya atas nama Tuhan merupakan bagian dari proses reduksi keislaman, tentunya pimpinan pesantren yang cakap meluruskannya. Keluasan intelektual, moral dan spiritual melalui penguasaan teks, sejarah dan tafsir kontekstual mesti dimiliki pesantren.

Sebentar lagi media takkan menyuguhkan khabar menghawatirkan seperti kabayan kokomoeun namun munculnya halqoh syiayasah ijtima’iyyah tentang kepemimpinan ideal berkarakter Kabayan makrifat yang renyah, cerdas, mampu ngangon dan memiliki kemampuan luar biasa. Khabar itu muncul dari pesantren rumahnya Kabayan ma’rifat yang sederhana namun fungsional.


Kamal al-Martawie S.H.I

  • Petani warga Tasikmalaya
  • Coordinator LESTARI

Demokrasi Pangan Religious Islami

Demokrasi Pangan Religious Islami

Kritik atas penghargaan Presiden untuk Bupati Tasikmalaya

Kamal al-martawie

Bagi masyarakat Kab Tasikmalaya menanggapi atas penghargaan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono kepada Bupati Tasikmalaya atas prestasi peningkatan surplus produksi beras tentu suatu penghormatan dan prestasi gemilang petani Tasikmalaya, namun secara pribadi petani-petani merasakan hal biasa dan tak menjadikan petani yang terhormat, sebab pada kenyataannya upaya tersebut tak henti-hentinya terus dilakukan.

Bila melihat perjalanan panjang proses demokrasi pangan di Tasikmalaya, saya teringat beberapa kebijakan yang dilakukan bupati diantaranya Saya menyatakan perang dengan pupuk kimiawi” adalah sepenggal dari sambutan Bupati Tasikmalaya pada hari Krida Pertanian yang membuat sontak para petani dan pemerhati pertanian. Pernyataannya lain Pak Bupati disampaikan pada acara Pelantikan Pemuda Tani di Cipasung bebrapa waktu yang lalau dimana Bupati menunjukan kondisi riil pertanian Tasikmalaya yang masyarakatnya 70 % menggantungkan hidupnya dari sector pertanian, hanya 10% petani yang menggarap lahannya sendiri dan sedikit masyarakat yang memiliki ketertarikan terhadap dunia pertanian. [Radar 16 Des 2008].

Kebijakan setengah hati

Ada beberapa hal yang yang membuat banyak orang kaget atas pernyataan Pak Bupati. Pertama; Karena phenomena terburuk yang dimunculkan revolusi hijau atau intensifikasi pertanian hingga rusaknya kebudayaan manusia dan rusaknya ekosistem hayati oleh regulasi yang dibuatnya [birokrat dan pengusaha]. Kedua Perubahan kebudayaan yang dihasilkan dari proyek tersebut seakan jejaring yang menghubungkan multi system dan multi level agricultural involusion [Cliford geertz 1963] yakni suatu kondisi dimana sector pertanian seperti jalan di tempat yang juga sengaja dibut pemerintah. ketiga, pada moment bersamaan sang Gubernur yang atasannya sedang promosi pupuk kimiawi yang dilawan oleh sang Bupati yang menurut beberapa pihak pernyataan pak Bupati hanya bentuk letupan politik.

Keempat, pada hari yang sama kekagetan masyarakat diperkuat dengan munculnya analisis Kompas bahwa 47% lahan produktif di Kab tasikmalaya tak tergarap

Political Will ruh Demokrasi Pangan

Pernyataan di atas bukan hal wajar, namun merupakan sebuah komitmen dalam membangun kemandirian dan ketahanan pangan di Tasikmalaya bahkan hal yang wajib bagi arsitek kedaulatan petani di Tasikmalaya. Hanya saja bila dikaji secara sfesifik empiris menunjukan pernyataan tersebut merupakan komitmen personal karena political will sebagai sumber energi birokrasi tak bersinergi sehingga terjadilah apa yang disebut dengan involusi pangan tadi. Political will inilah yang harus dibangun sebagai system demokrasi pangan demi kedaulatan masyarakat agraris dalam menjawab problematika sistim kepanganan yang semakin kompleks dan menciptakan kesejahteraan.

Tengok saja kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU Nomor 12 1992 tentang Budidaya Tanaman dimana pemerintah tidak bisa mengontrol budidaya pertanian baik komoditas dll sebagai bentuk liberalisasi pertanian. Selanjutnya produktivitas melalui P2BN (Program Peningkatan Produksi beras) yang diikuti dengan penggunaan bibit unggul adalah awal dari kehancuran hazanah local serta 37.500 Ton benih bantuan pemerintah yang tak jelas produktivitasnya kesemuanya harus discounter melalui mekanisme kebijakan.

Persoalan lain yang nampak adalah keputusan dijadikannya 50 Ha lahan pertanian produktif di wilayah Singaparna sebagai ibu kota Kabupaten dan perkantoran serta banyaknya lahan petani yang dikuasai perusahaan dan perkebunan (Perhutani dan PTPN) akan menambah runyam kondisi pertanian di Kota Santri ini.

Kemungkinan-kemungkinan terburuk pertanian ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan Pupuk organic dan SRI (system of Rice Intensification) atau pola tanam satu, namum memerlukan system yang utuh dan menyeluruh dimana proses kontruksi dan dekontruksi mesti dilakukan di semua level dan stakeholders dengan semangat yang istilah Presiden Soekarno mesti aanpacken (hidup mati), bila tidak maka akan terjadi malapetaka besar bukannya maju dan sejahtera sebagaimana Visi Kab Tasikmalaya.

Ada beberapa hal yang hendak disampaikan melalui tulisan ini bagi pembuat kebijakan khususnya dibidang pertanian. Pertama,Keberhasilan pemerintah dalam produksi pangan 2008 yang didengungkan kemarin bukan satu-satunya ukuran keberhasilan kedaulatan pangan karena persoalan pangan bukan hanya surplus produksi namun juga moral produksi. Yakinkah benih yang ditanam itu benih unggul yang sehat, tanah yang digunakan tidak rusak, ekosistem terjaga, adakah jaminan kesejahteraan dan jaminan social lain bagi petani…….? Adakah jaminan bahwa keberhasilan surplus beras ini sebagai upaya sungguh-sungguh pemerintah jangan-jangan hanya bentuk claim belaka. Salah satu bukti claim pemerintah yaitu dengan tidak berdayanya Penyuluh Pertanian sebagai kepanjangan tangan eksekutif, kerjasama riset dengan Perguruan Tinggi yang mandeg, serta tidak adanya kesamaan pemahaman antar dinas intansi terkait perihal peningkatan mutu di sector pertanian. Adakah komunikasi intens antara Dinas Pertanian-peternakan dan Indag? Semuanya mengeluh tidak ada.

Kedua, keengganan untuk menjamin hasil produksi pertanian untuk didistribusikan melalui system pasar yang menjaga karya dan kekayaan hayati adalah bentuk penodaan terhadap demokratisasi pangan. Adakah out let pertanian organic yang mampu melindungi dan menjamin kesejahteraan petani serta menjadi inspirasi bagi petani-petani konvensional? Bukti nyata kebijakan dan perhatian sepenggal terhadap keberlangsungan pertanian di tasikmalaya. Anggaran untuk sector pertanian sebesar 1,3% sangat tidak mencerminkan kesungguhan berinvestasi di dunia agraris.

Ketiga, dari seabreg regulasi yang dibuat belum ada Perda pertanian yang mampu menjamin eksistensi dan intensitas, pembangunan dan pengembangan petani agar mandiri dan sejahtera.

Semangatlah petani.

Kamal al-Martawie S.H.I

  • Petani warga Tasikmalaya
  • Coordinator LESTARI

Pesantren Politik; Politik Pesantren

Pesantren Politik; Politik Pesantren

Oleh: Kamal al-Martawie S.H.I*

Pergulatan antara pesantren dengan dunia politik, mendapat ruang yang cukup terbuka dalam lanskap politik Indonesia, apalagi didukung oleh system pemerintahan Indonesia yang tidak didasarkan atas ideologi sebuah agama. Sehingga masyarakat dari latar belakang manapun mempunyai hak yang sama untuk melakukan aktivitas dalam bidang politik termasuk didalamnya institusi pesantren dan seluruh elemen yang ada didalamnya (santri dan Kyai).

Politisasi Pesantren atau ijtihad politik pesantren

Dan kenyataannya, memang banyak pesantren yang terlibat atau melibatkan diri dalam dunia politik. Bahkan, banyak diantara institusi pesantren yang siap mengalirkan suara warganya pada partai atau kandidat tertentu, terutama pada masa-masa “jual kecap” seperti sekarang. Praktek ini tentu tidak bisa kemudian dimaknai sebagai sebuah pengkhianatan moral para penghuni pesantren, namun harus disadari bahwa ini adalah pilihan untuk menentukan sikap (ijtihad) politik karena bagaimanapun pesantren harus memiliki politik atau siyasah/t, hanya saja bagaimana bentuk siyasat atau strategi apa yang dipilih. Ijtihad sosial secara ideal harus dilakukan secara jama’i namun pada kenyataannya sering kali dilakukan secara fardi atau perseorangan. Ada apa?

Penulis mencoba hendak membandingkan institusi pendidikan Islam tradisional yang ada di negeri kita (pesantren) dengan institusi serupa di Iran (Hauzah). Sebagai lembaga pendidikan, Hauzah mempunyai banyak kesamaan dengan pesantren. Mereka juga berpegang teguh pada karya-karya ulama klasik dengan aroma taklid yang sedemikian kental. Dan yang paling kentara adalah nuansa patronase dan dikotomi pendidikan agama-non agama.

Pasca Revolusi 1979, Iran menerapkan system pemerintahan wilayat al-faqih, yang memberikan peluang kepada ulama untuk duduk dalam kursi pemerintahan sebagai dewan ahli atau bagian dari faqih. Karena memang pada awalnya penulisan konstitusi yang memuat aturan mengenai system pemerintahan ini salah satunya dilatarbelakangi oleh keinginan para Mullah untuk kembali ke track politik setelah sekian lama dikecawakan oleh Dinasti Syah Reza.

Perubahan structural ini yang pada akhirnya juga merubah atau lebih pasnya menambah orientasi partisipasi Hauzah dari sekedar lembaga pendidikan menjadi lembaga yang juga aktif dalam bidang politik. Hauzah berlomba-lomba menghasilkan out put yang mempunyai kemampuan dalam dua ranah sekaligus, agama dan politik. Sayangnya, seperti yang diungkapkan Abdolkarim Soroush (2002), Ulama tersebut terkadang overlapped dengan mengklaim kebenaran tunggal. Nah, disinilah kemudian banyak kritik dilancarkan terhadap institusi Hauzah ini.

Bagaimana dengan pesantren?. Dalam banyak hal, terutama dalam model pengajaran dan pola ta`dzim (penghormatan) kepada guru memang dua institusi ini tidak banyak memiliki perbedaan. Hanya saja, eksistensi Hauzah berada dalam telikung system pemerintahan yang memberikan jalan bagi mereka untuk bisa aktif berpartisipasi dalam dunia politik. Ini tentu beda dengan pesantren yang berada dalam koridor system pemerintahan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat agama.

Dalam pandangan penulis, hal ini bisa dimaknai ganda oleh kalangan pesantren. Pertama, system ini memungkinkan bagi seluruh elemen yang ada dalam pesantren untuk berpartisipasi dalam ranah politik, sebagai bagian dari proses demokratisasi (syuro). Karena, bagaimanapun juga demokrasi memberikan hak yang sama bagi seluruh warga negara termasuk dari kalangan pesantren atau institusi keagamaan dan masyarakat setradisional apapun. Kedua, system tersebut, seakan memberikan tugas kepada pesantren untuk lebih berorientasi pada pembenahan dalam segi moralitas. Sehingga aktivitas politik yang sangat rentan menarik konflik laten menjadi konflik terbuka, sebisa mungkin untuk dijauhi. Karenanya, ketika pesantren memilih untuk berkecimpung dalam dunia politik, ini tentu harus dipahami sebagai sebuah pilihan.

Pertanyaannya kemudian, adakah tugas lain yang lebih besar yang harus diselesaikan pesantren sebelum terjun dalam wilayah politik praktis, sementara hal itu justru sebenarnya harus dijadikan prioritas? Apakah politik benar-benar menjadi kebutuhan primer pesantren? Atau pesantren terjangkit penyakit kontemporer yang disebut narcisisme (pencarian kepuasan)?

Untuk menjawab pertanyaan ini nampaknya, kita harus berpikir jernih untuk bisa menangkap apa yang terjadi sebenarnya: Pertama, fenomena ini kemungkinan dilandasi oleh proses ijtihad politik pesantren sebagai bentuk inklusivitas dan komitmen terciptanya kondisi politik yangilmiyyah, bermoral dan universal. Maslahah mursalah menjadi prioritas bagi keberlangsungan laku politik pesantren. Inilah yang dimaksud politik pesantren. Proses ini harus dilalui melalui tahapan pajang misalnya dengan intens diskusi kitab al-ahkamu sulthaniyyah, penelitian sosial dll. Kondisi ini diharapkan akan menjadi kawah candradimuka bagi terciptanya “santri baru” istilah Nurkhaliq Ridwan, yang lebih berkarakter dan mempunyai wawasan dan kemampuan yang luas dalam pelbagai hal

Kedua, ada kecurigaan fenomena ini sebagai by desain untuk merontokan pesantren dengan political instantaneous atau politik keseketikaan yang menjadikan pesantren sebagai bemper yang nantinya justru akan ditinggalkan. Ketiga, mungkin saja muncul dari hasratnya sendiri yang ingin memnfaatkan harismanya demi hasrat personal dengan pola seduksi (bujuk rayu), dan citra bersihnya.

Keempat, re-orientasi atau lebih tepatnya mengukuhkan orientasi, fungsi dan peran pesantren. Selama ini fungsi pesantren terbatas pada wilayah ta`lim atau lembaga pendidikan. Untuk mengimbangi laju perkembangan, sudah selayaknya pesantren juga berfungsi dalam konteks ta`dib. Artinya, pesantren harus bisa memerankan diri sebagai jangkar atau patokan bagi terbentuknya sebuah peradaban umat Islam yang inklusif dan toleran. Selain ta’lim dan ta’dib pesantren juga diharapkan menjadi tajdid yang membawa perubahan dan membebaskan umat manusia. Kalau pesantren melakukan ijtihad syiyasah tentu agar utuh pesantren juga jangan melupakan ijtihad diniyyah, maliyah dan ijtima’iyyah. Meminjam istilah Gus Dur bahwa pesantren harus menjadi ikon transformasi sosial.

Sepertinya tidaklah haram para kyai, santri dan seluruh elemen pesantren berpolitik praktis bahkan dalam kondisi tertentu berpolitik menjadi sebuah kewajiban yang sifatnya kifayat (kolektif) namun suatu perbuatan terlaknat bila persoalan utama keumatan diabaikan apalagi pesantren hanya menyentuh masyarakat hanya pada momentum politik saja. Bagaimana jadinya jika muharaman hanya dijadikan momentum konsolidasi politik saja bukan sebagai penguatan struktur dan supra struktur masyarakat?

Dengan mengaca pada kelemahan itulah, maka peran mereka di lanskap politik harus kembali dipertimbangkan. Tanpa mengurangi hak mereka dalam mengeluarkan pendapat, atau berusaha merobohkan fondasi demokrasi, harus diakui, ternyata masih banyak masalah intern yang harus diselesaikan oleh institusi ini. Begitupun ramadhan yang suci jangan dikotori oleh kyai dan pesantren dengan membuka politisi untuk berkoar dan konsolidasi dengan kemasan tarling dan lain sebagainya. Dan point-point itulah yang juga bisa menjadi bahan untuk mereparasi Hauzah/pesantren dalam skala yang lebih luas. Walhasil, jika problem intern ini sudah selesai, maka, welcome to the political zone.

Wallahu Yuwaffiquna Fimaa Yuhibbuhu Wayardlah

Kamal al-Martawie S.H.I

  • Mantan Ketua Umum PMII Kab Tasikmalaya
  • Wakil Sekretaris DPD KNPI Kab Tasikmalaya
  • Coordinator LESTARI.

Terbit radar 27 april 2009

PENDIDIKAN PESANTREN DAN NEGARA

PENDIDIKAN PESANTREN DAN NEGARA

Penguatan gagasan Pendidikan untuk semua

Siswa, orang tua siswa, guru, sekolah, Disdik, Kepala Daerah hari ini sedang demam [kena virus mendiknas] hawatir citranya tercoreng dengan tidak lulusnya anak didik pada UN yang hari ini dalam proses. Berbagai upaya dilakukan dengan membentuk tim sukses dan beragam trik jitu lainnya agar mendapatkan nilai baik sesuai dengan target yang ditentukan Mendiknas. Kenapa ini terjadi dan sampai kapan sistem seperti ini langgeng? Adakah jaminan bahwa pola seperti ini mampu merubah manusia menjadi manusia beradab?

Pendidikan Borjuis

Pada tataran normative, pendidikan merupakan aspek yang paling strategis dalam upaya memanusiakan manusia (Humanisasi). Pendidikan merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat. UNESCO sejak tahun 1980-an telah mencanagkan gerakan Education For All, namun pada tataran aktualisasi terjadi silang pendapat terutama pada tujuan pendidikan, muatan kurikulum, kwalitas pengajar dan administrator, indicator kwalitas, besarnya anggaran, pengelolaan, relasi anggaran dan jenjang pendidikan serta model pendidikan yang kontektual.

Pendidikan merupakan salah satu penopang dan agen perubahan dalam sebuah masyarakat, disisi lain, sekolah atau Perguruan Tinggi [PT] merupakan institusi pelestarian gaya hidup borjuis kapitalis dan menghadirkan diri sebagai razim baru. Impliksinya adalah orang miskin dilarang masuk sekolah. Para pengelola berkelit alih-alih atas nama kwalitas standar“If you think education is expensive, try ignorance” ,tengok saja ekses diberlakukannya UU BHP yang mendorong merkantilisme pendidikan dimana pengetahuan akan menjadi objek komersialisasi yang diperjualbelikan.

Pendidikan Untuk siapa?

Jumlah sekolah,PT dan jumlah siswa, Mahasiswa diseluruh dunia meningkat dengan cepat. Trow mengelola sifat PT sesuai dengan angka partisifasi kelompok umur menjadi tiga kelompok. Di Negara dengan kelompok umur 18-24 tahun kurang dari 15% maka system PT di negara itu dianggap Elit. Negara dengan angka partisifasi 15-50% memilik system pendidikan untuk massa. Dan Negara dengan angka partisifasi lebih 50% mempunyai system untuk semua. Indonesia termasuk yang pertama dan menjadi Mahasiswa termasuk elitis walaupun keadaan sebenarnya daya tampungnya kurang. Jika jumlah Mahsiswa melebihi 50%, maka pemula yang lain, dalam kelompolk umur itu dalam kemampuan kurang akan sulit mendapatkan pekerjaan dan pengakuan.

Kuasa Negara terhadap pendidikan

Tanggung jawab operasionilisai LP mengacu pada landasan konstitusional, UUD 45 terutama tujuan Negara pada pembukaan alinea ke-4 yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam kontek bernegara dengan dalih klise Negara membutuhkan partisipasi dari masyarakat. Permasalahannya ketika patrisipasi itu muncul dan anggaran pendidikan yang 20% diberlakukan, maka pemerintah memberlakukan UU Yayasan yang kontradoktif. UU BHP yang menggerus kedaulatan dan moralitas,implikasinya adalah Negara hadir dominan bersembunyi di balik tujuan itu sehingga sering dihadirkan sebagai instrument kekuasan. Negara hadir dengan kegiatan represif dan idiologi dihadirkan untuk memantapkan kekuasaan Negara (Altussher). Manajemen pendidikan Indonesia dihadirkan pada persoalan kwallitas, kwantitas releven, evisien dan ekvektifitas.

Sekolah menciptakan elite modern yang menentukan masa depan Indonesia, tetapi muncul kritik bahwa lulusan pendidikan fomal cenderung menjadi priyayi. Kilas balik pendidikan Indonesia pada masa belanda di tetapkan pada inlidersen, hondenverboden (bumi putra dilarang masuk). Konsep pasrah, nrimo, sumarah dan nrimo ing pandum diproduksi untuk kepentingan Belanda. Belanda melakukan politik etis untuk balas budi sekaligus mengurangi dosa penjajahan walaupun terkait dengan grand scenario penjajahan baru. Belanda membuka sekolah yang terpecah 4 mengacu pada stratifikasi masarakat yang berlaku pada sa’at itu yakni, Eropa, kelompok Timur Jauh (Vremde Oosterling), priyayi dan rakyat.pada tingkat pendidikan dasar untuk golongan eropa tersedia ELS (Euroessche Loger School),HAS (Hollansche Chinesche School) untuk timur asing (Hollansche Logere School) untuk ppriyayi, dan Valkse School yang terbagi dua yaitu Eerstevolkse School (ongka siji) program tiga tahun dan Tweede Volkse School (ongko loro) tingkat kecamatan tingkat belajar 5 tahun semuanya untuk rakyat. Kebanyakan pendidikan dasar umum lanjutan di peruntuka Eropa dan Timur Jauh bagi rakyat tertutup. MULO (Meer Uitebreid Lagere Onderwijs) yang terbagi lagi AMS (Algemene Middelbare School) dengan keahlian tertentu seperti HBS (Hogere Burgers School) dan OSVIA (Opleding School Voor Indlansche Amblaneren) untuk di didik menjadi Binennlandse Besluur. Sekolah Menegah Atas di bidang pertanian, yaitu Middelbare Landblow di Bogor (IPB). Ada Schkelschool, sekolah peralihan dari lulusan rakyat untuk masuk di tingkat atas. Ada HIK ( Hollandshe Inladsche Kweekscool) dan Normal School denagn spesialis tertentu. PT untuk menunjang tekhnologi pengairan dan industri gula didirikan (Echnische Hooge School –ITB) di Bandung, Kedokteran (Geneeskundige Hooge School –UI), RHS )Rechte Hooge School) dibidang hokum yang terpecah-pecah berada dalam lingkungan UI dan lain sebagainya. Kaum terdidik inilah yang muncul sebagai agen perubahan Indonesia (Van Nei 1983) dan sebagai tokoh Pergerakan Nasional (Nagazumi 1985).

Pendidikan Untuk semua Model pesantren

Gagasan pendidikan untuk semua telah diaktualisasikan ole pesantren Annuqoyah Golok-Guluk Madura, dengan kondisi daerah perbukitan yang sulit mendapatkan air mampu mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyyah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dengan spesialisasi tafsir yang membentuk masyarakat mampu bertahan dan mandiri. Pesantren Cipasung yang merupakan ladang judi melalui IAIC di Cipasung, pesantren Sukamanah dulu dengan PGA [sekarang MAN], Pesantren Suryalaya yang berbasis Thariqoh Qodariyyah Wannaqsabandiyah mampu mendirikan IAILM dan STIE serta Inabah-inabah sebagai wujud kepedulian dalam menyelesaikan persoalan NAFZA dan seabrek persoalan social lainnya. Begitupun kita menemukan pesantren Cangkudu Mangunreja menawarkan konsep dan keahlian bertani bagi santri dan masyarakat dalam hal kemandirian dan pemeberdayaan, hari inipun Pesantren Sukahideng menyediakan SMK Farmasi yang hendak mempersiapkan ahli-ahli farmasi yang memiliki kecakapan dan karakter yang islami adalah bagian dari kiprah Pesantren dalam mewujudkan sebagai lembaga pendidikan untuk semua yang berbasisi realitas.

Pendidikan Untuk semua adalah pendidikan moralitas

Namun persoalan selanjutnya mampukah pesantren melawan dominasi Negara atau kuasa kapitalis borjuis yang mengukur manusia dan nilai kemanusiaan dengan parameter materil, atau pesantrenkah pelanjut dari system kuasa itu? Semua masyarakat berharap 39 Juta masyarakat miskin Indonesia harus tercover melalui advokasi pesantren dalam mewujudkan humanisasi sebagai perwujudan misi rahmatan lilalamin. Ketersediaan akses pesantren untuk inklusif menuntut kesigapan untuk memilah mana yang lebih baik untuk dipertahankan dan mana yang baik untuk ditambahkan. Almuhafadlotu ala al-qodimi al shalih wal akhdu bil jadidil aslah. Moralitas memang sulit diukur dengan kalkulasi matematis namun itulah kekhasan dan kemampuan pesantren serta orientasi dari pendidikan untuk semua.