TELAGA ITU BERNAMA NU
Oleh: Kamal al-martawie
Membincang kata NU [Nahdlatul ‘Ulama, kebangkitan ‘ulama] bagi sebagian besar masyarakat Indonesia seolah menguak kembali rasa yang cukup dalam akan kerinduan, kehausan, kepengapan keberagamaan dan kemasyarakatan [sosioreligious, sosiocultural] yang terjadi di Indonesia dan di seantero persada yang dihuni oleh manusia. 83 tahun yang lalu, kegelisahan ini pernah terjadi dikalangan akademisi, ulama, pengusaha, birokrat dan masyarakat cacah, dimana manusia seperti hayam panyambungan teu puguh indung bapa yang hidup di cakrawala gersang. Kemunculan NU sebagai komitmen dan kesungguhan para ulama untuk singkil dan andil dalam pergumulan keberagamaan dan kemasyarakatan seolah menjadi telaga yang memberi harapan kehidupan baru untuk hidup dan menghidupi bagi seluruh masyarakat dunia.
Hadrotu Syaikh K.H Hasim Asy’ari sebagai bagian dari motor penggerak NU mampu mewakafkan dirinya untuk menembus sekat kejumudan dan kemandegan situasi dengan beberapa sentuhan diantaranya: Pertama, dengan siraman ilmu amaliyah yang semula diwadahi taswirul afkar untuk forum terbatas, sedangkan untuk forum umum dipasilitasi yaumul ijtima’ atau lailatul ijtima’ yang dilaksanakan disemua langgar, mesjid, mejlis ta’lim, pesantren bahkan di rumah-rumah. Cara tersebut memberi kontribusi yang sangat besar bagi semua kalangan paling tidak ada ruang berbagi dan curhat minimal ada semacam pencerahan kesadaran bahwa yang patut dipersalahkan itu bukan hanya yang lain tapi juga diri kita.
Kedua, selain konsep dalil yang dimiliki para ‘ulama, andil dalam meneyelesaikan problem masyarakat ditunjukan dengan aksi riil menciptakan keamanan melalui laskar sabilillah dan hizbullah serta membangun kekuatan ekonomi dalam wadah Nahdlotu tujjar yang menghimpun potensi petani, pedagang dan pengrajin sebagai bagian utuh jihad kontekstual.
Ijtihad NU seperti ini sanggup menciptakan masyarakat yang mandiri dan harmoni walaupun berada dalam gempuran imperilis, sehingga pengakuan masyarakat terhadap NU bagai segara madu dalam kehausan. Wajar bila masyarakat Madura menyebut NU sebagai agama karena NU memberi pencerahan.
Seiring perjalanan waktu, kondisi chaos itu terulang lagi, asap membumbung lagi, luka lama tertoreh lagi. Hal ini memang sudah digariskan dalam firman-Nya “watilkal ayyamu nudawiluha bainannas” bahwa sejarah pasti akan berulang. Kondisi keberagamaan kita selalu disuguhkan dengan berita aliran sesat, fatwa sesat yang menyesatkan, islam galak dan adanya beragam reduksi atau penyempitan keberagamaan. Benturan peradaban antar person dan antar bangsa, himpitan ekonomi, hilangnya nasionalisme sampai musnahnya pigur pemimpin masyarakat seakan mengajak masyarakat untuk tidak lagi bisa menikmati rasa, harapan dan kemampuan untuk bertahan hidup adalah puncak persoalan yang sedang didera. Saya tidak bermaksud menuduh siapapun apalagi Tuhan yang membuat kondisi seperti ini, hanya saja masyarakat terasa sulit untuk bisa keluar dari jurang yang teramat dalam ini.
Lain dengan 83 tahun silam disaat ulama dicap ortodoks, feodal dan kolot, NU mampu memberikan solusi cerdas dengan nalar Aswaja [ahlu sunnah wal jama’ah] sederhana, kini umat cuang-cieung dalam ruang pengap, gelap nan sempit sehingga terus bertabrakan satu sama lain dengan pengorbanan yang tak terkirakan. Siapa yang bertanggung jawab mewabahnya sekte keagamaan? Adakah ulama peduli TKW yang dinistakan majikannya di negeri orang? Mengapa harus ada kasus zakat maut gaya pasuruan? Kenapa hutan menjadi gundul? Dan beragam persoalan lain yang semakin hari menambah kehausan dan kegersangan cultural yang pada puncaknya menemukan persoalan lama namun selalu disembunyikan “mungkinkah kita menyadari bahwa persoalan sesungguhnya yaitu keringnya telaga yang bernama NU”.
Akar persoalan internal
Sebagai bagian dari struktur dan culture NU, penulis “meng-asumsi-kan” akar persoalan keringnya telaga NU disebabkan oleh dua hal: Pertama, adanya disorientasi perjuangan para petinggi dan pengurus NU sehingga ada kebingungan sejarah untuk menyejarahkan NU sebagai wadah perjuangan keagamaan dan kemasyarakatan [Diniyyah-ijtimaiyah]. Maraknya para pupuhu organisasi untuk berebut bursa legislative dan eksekutif malah menimbulkan ketidakjelasan posisi, daya tawar bahkan orientasi pemberdayaan ideal sesungguhnya, atau malah memperdayakan? Tafsir ulang kepemimpinan model aswaja yang melanggengkan Islam rahmatan lilalamin hampir tak ketara riaknya, yang ada hanyalah system politik konvensional warisan Persia dan Romawi dengan corak Barbarisme dan Amerikanisme dengan intrik, uang, bualan dan pencitraan sebagai jurusnya.
Islam bukan sebuah isme yang hendak ditarik menjadi ideology politik Negara oleh sebagian ormas yang berazaskan Islam dalam konstitusi syari’at, NU memperjuangkan bagaimana nilai-nilai syaria’at menjadi ruh dan bermanfaat untuk semua masyarakat bangsa. Mabadi khairu ummah telah cukup memberikan dasar system perjuangan social yang bersifat universal. Banyak yang belum berani jujur tentang ketidaktahuan apa sebenarnya yang akan kita cari dan apa yang dibutuhkan masyarakat sekarang.
Kedua, lemahnya regenerasi yang memungkinkan rapuhnya sanad dan nilai organisasi telah menggerus kebesaran dan ketajaman nalar sehingga terjadilah apa yang disebut nyabut nyere ti puhu, beuki tungtung beunki leutik. Ikatan Pelajar NU dan Ikatan Pelajar Puteri NU [IPNU-IPPNU] sebagai gerbang kaderisasi nahdliyyin jarang mendapat perhatian dan arahan sepuhnya, sehingga gerakannya mengikuti arus yang sedang mengalir. Mungkin saja liang sireum sekalipun akan dimasukinya tergantung siapa yang mengajaknya. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia [PMII] walaupun bukan banom NU namun yang intens dan komitmen sebagai garda inteleklnya NU sering dicurigai masuk angin bahkan tak jarang dianggap malin kundang. Belum lagi Ansor, Muslimat, Patayat dan badan otonom lainnya jarang disuguhi dengan kitab salafi sebagai referensi namun politiklah sebagai kutubulmu’tabaroh.
Rekomendasi
Tarekah sederhana yang mesti dilakukan NU demi memupus kekecewaan cultural adalah melalui pembenahan structural dulu diantaranya: [1] menjadikan Asawaja sebagai alat bedah atau pisau analisis pengembangan standar madzhabi [sebagai madzhab] menjadi manhaji [sebagai methodologi]. [2]. Mengukuhkan pengembangan Islam yang rahmatan lilalamin sebagai identitas keberislaman model NU. [3]. Memupuk kader NU dengan beragam keilmuan dan kemampuan [skill] khususnya dikalangan kaum muda agar kompetitif. [4].Pesantren harus dikembalikan fungsinya sebagai rumah ilmu dan moral masyarakat. Melalui pesantren inilah NU menjadikan laboratorium sikap bertindak local berfikir global. [5]. Dalam kondisi serba sulit seperti sekarang, nahdliyyin sebagai public pigur harus mampu menjadi generasi tirakat yang kuru cileuh kentel peujit [kucrit].
Semoga dengan refleksi kelahiran NU yang ke 83 ini sanggup menjawab kegundahan social yang sedang dan akan terjadi.
Kamal al-Martawie
Kader muda NU
Tinggal di Tasikmalaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar