Senin, 15 Juni 2009

SI KABAYAN KOKOMOEUN

SI KABAYAN KOKOMOEUN


Oleh:

Kamal al-martawie

Membaca harian pagi Radar Tasikmalaya pada segmen pemilu tertuang sebuah berita jenaka adanya pimpinan pesantren yang mendukung salah satu partai politik kontestan pemilu legislatif 2009 (30 Januari 2009). Bentuk dukungan tersebut tidak menjadi persoalan bila tidak melibatkan pesantren yang notabene sebagai institusi milik masyarakat bukan milik perorangan. Persoalan lain sang kyai tak memiliki kesadaran sosial bahwa ia adalah panutan seluruh masyarakat yang kemungkinan memiliki pilihan politik berbeda dengan apa yang menjadi pilihan pak Kyai begitupun pada ranah ideal masih banyak hal yang menuntut kesungguhan ijtihad kyai selain masalah politik.

Penulis jadi teringat apa yang menjadi celotehan kang acep Zamzam Noor penyair jebolan pesantren terkemuka Tasikmalaya yang melukiskan pesantren-kabayan dan kesundaan dalam bingkai Islam sufistik (Kompas, 28 Januari 2009). Upaya sungguh-sungguh Kang Acep sebagai bentuk respon atas buku Jakob Sumarjo patut disambut oleh semua kalangan, terlebih oleh arsitek dan pekerja sosial.

Di akhir tulisannya Kang Acep Zamzam melukiskan kerinduan akan maestro Sunda yang dinamakan Kabayan untuk memimpin masyarakat bangsa ini. Karakteristik Kabayan menurut Kang Acep distilahkan dengan Kabayan jadi sufi atau Kisunda yang memiliki nalar keislaman yang rahmatan lilalamin atau Universalistik, membudaya ([integral dengan masyarakat, akrab dengan tradisi), cerdik cendikia, sedikit bodoh (rendah hati]), dan humoris.

Sejalan dengan Kang Acep, Doel Sumbang sang seniman Sunda pun mengakui bahwa kabayan itu ikon Sunda yang jenaka, sang anak angon, jujur, polos, sakti dan konyol.

Masyarakat sunda mau atau tidak sesungguhnya sudah menerima beragam warisannya seperti pesantren yang melanggengkan sikap Kabayan tadi walaupun yang sampai dan tersisa hanyalah yang terakhir [konyol] seperti yang terjadi pada kasus diatas.

Ujaran “kamarana urang sunda, araya keneh”? kata kang Doel, dan “Di tengah krisis kepemimpinan dan ruwetnya dunia perpolitikan kita, membaca dan menghayati kembali makna yang terkandung dalam cerita si Kabayan menjadi penting” kata kang Acep sejatinya bukan hanya lantunan dua insan Sunda yang sedang mencari Guru Mursyid dalam karakter Kabayan, namun keduanya sedang jadi wawakil untuk ngahaleuangkeun dan melukiskan sya’ir kesungguhan warga Pasundan khususnya untuk memiliki dan menawarkan pemimpin dan kepemimpinan bangsa ke depan.

Pesantren dan kepemimpinan sosial

Thesis yang menuturkan laku Kabayan dengan segala keanehan dan pikasebeleun adalah sebagian dari pola laku Kyai pesantren salafiyah bisa dibenarkan untuk sebagian dan dalam waktu tertentu yaitu pesantren tempo dulu, hanya saja dalam konteks kekinian telah tergambarkan ia tak lagi sebagai simbol masyarakat agraris yang menghuni tegalan pasantren namun sedang saba kota. Kabayan kontemporer jarang membuat Abah beureum beunget tapi sedang mencari perhatian kemesraan Abah demi sebuah eksistensi. Boleh saja beralibi bahwa semua itu dilakukan demi membahagiakan Nyi Iteung (masyarakat) namun pada kenyataannya Iteung sedang merana dan kesepian.

Mungkin Didi Petet pemeran Kabayan belum memerankan Kabayan Pulang Kampung setelah perjalanan saba kota hingga akhirnya ia betah di swalayan dan di parlemen yang penuh dagelan, tipuan dan kekerasan. Kabayan kini sedang dihadapkan dengan sistem borjuisme, sektarianisme dalam suguhan intrik dan janji basa basi.

Dari persfektif lain Zainal Abidin Bagir PhD Direktur Eksekutif Center For Religious and Cross-Cultural Studies, UGM Jogjakarta menuturkan kondisi seperti ini terjadi sebagai proses evolusi sosial menuju kesadaran plural sehingga nanti akan didapatkan sebuah dinamisasi dan akulturasi intelektual, moral dan spiritual yang menurut istilah pesantren disebut dengan ma’rifat.

Kema’rifatan Kabayan (Kyai pesantren) tentu tak kan terpisahkan dari Iteung (masyarakat) yang dulu telah ikrar bersama, dan hari ini sedang cemas menanti menunggu guyonan, petuah renyah, perhatian dan menggunakan kemampuan khowarikun lil adat merubah kebuntuan dengan cara yang santun.

Modal Kemampuan Pesantren Memimpin

Menganalogikan dan mengkomparasikan kabayan dengan pesantren memang tak seluruhnya pas tapi paling tidak ada titik kesamaan yang memungkinkan berjalan secara beriringan dan kenyataannya menunjukan bahwa budaya pesantren identik dengan kultur agraris. Nusantra sebagai bangsa agraris tentu dapat dikendalikan dan diurus oleh pemimpin yang memiliki nalar dan orientasi agriculture.

Kepemimpinan memang tidak selamanya identik dengan kekuasaan struktural, namun lebih kepada kemampuan mengayomi, mempertahankan, mengendalikan dan mengakses kemanfaatan kepada khalayak. Pesantren akan tetap menjadi idola dan harapan masyarakat bila memiliki beberapa modal memimpin seperti yang telah diajarkan oleh para pendahulu:

Pertama, memiliki orientasi kultural atau istilah pesantren maslahah mursalah (kemaslahatan bersama). Cita-cita tersebut harus ditunjang kemampuan menguasai bahasa cultural (language cultural skill) yang bisa dipahami oleh semua masyarakat. Indonesia bukan Arab juga bukan Ameriaka kalupun di kota sempat makan spagety, korma dan makanan lain namun itu hanya sebatas bahan komparasi tidak sampai kokomoeun.

Kaidah al-muhafadlotu alal qodimi shalih wal akhdu bil jadidil aslah (melestarikan budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik) akan menjadi tonggak dasar konsistensi (istiqomah) mempertahankan identitas hazanah pesantren, inklusif, toleran (tawazun) atas perubahan dan perkembangan masyarakat yang plural dan bergerak bebas. Lain lagi bila kaidah itu dibalik menjadi al-akhdu biljadidil aslah walmuhafadlotu alalqodi assolih tentu yang terjadi akan lain yaitu invasi yang rakus, makmak-mekmek, kokomoeun. Menurut papagon [falsafah] Sunda diistilahkan dengan moro julang ngaleupaskeun peusing- lamun teu kamerekaan nya kalaparan.

Kedua, memiliki kemampuan ngangon (daya gembala), ngemong, dan merangkul, membimbing serta mensejahterakan masyarakat dari semua kalangan, semua warna, semua level dengan penuh kasih sayang. Kita sering dihadapkan dengan pemimpin yang menekan, menakutnakuti dengan berdalih konstitusi, ayat suci-lah, sunnah rasul-lah dll yang berujung menodai, merampas, membinasakan hak dan martabat yang lain. Munculnya masyarakat bringas gaya Arab wahabisme yang selalau melegitimasi kecongkakannya atas nama Tuhan merupakan bagian dari proses reduksi keislaman, tentunya pimpinan pesantren yang cakap meluruskannya. Keluasan intelektual, moral dan spiritual melalui penguasaan teks, sejarah dan tafsir kontekstual mesti dimiliki pesantren.

Sebentar lagi media takkan menyuguhkan khabar menghawatirkan seperti kabayan kokomoeun namun munculnya halqoh syiayasah ijtima’iyyah tentang kepemimpinan ideal berkarakter Kabayan makrifat yang renyah, cerdas, mampu ngangon dan memiliki kemampuan luar biasa. Khabar itu muncul dari pesantren rumahnya Kabayan ma’rifat yang sederhana namun fungsional.


Kamal al-Martawie S.H.I

  • Petani warga Tasikmalaya
  • Coordinator LESTARI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar