Demokrasi Pangan Religious Islami
Kritik atas penghargaan Presiden untuk Bupati Tasikmalaya
Kamal al-martawie
Bagi masyarakat Kab Tasikmalaya menanggapi atas penghargaan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono kepada Bupati Tasikmalaya atas prestasi peningkatan surplus produksi beras tentu suatu penghormatan dan prestasi gemilang petani Tasikmalaya, namun secara pribadi petani-petani merasakan hal biasa dan tak menjadikan petani yang terhormat, sebab pada kenyataannya upaya tersebut tak henti-hentinya terus dilakukan.
Bila melihat perjalanan panjang proses demokrasi pangan di Tasikmalaya, saya teringat beberapa kebijakan yang dilakukan bupati diantaranya “Saya menyatakan perang dengan pupuk kimiawi” adalah sepenggal dari sambutan Bupati Tasikmalaya pada hari Krida Pertanian yang membuat sontak para petani dan pemerhati pertanian. Pernyataannya lain Pak Bupati disampaikan pada acara Pelantikan Pemuda Tani di Cipasung bebrapa waktu yang lalau dimana Bupati menunjukan kondisi riil pertanian Tasikmalaya yang masyarakatnya 70 % menggantungkan hidupnya dari sector pertanian, hanya 10% petani yang menggarap lahannya sendiri dan sedikit masyarakat yang memiliki ketertarikan terhadap dunia pertanian. [Radar 16 Des 2008].
Kebijakan setengah hati
Ada beberapa hal yang yang membuat banyak orang kaget atas pernyataan Pak Bupati. Pertama; Karena phenomena terburuk yang dimunculkan revolusi hijau atau intensifikasi pertanian hingga rusaknya kebudayaan manusia dan rusaknya ekosistem hayati oleh regulasi yang dibuatnya [birokrat dan pengusaha]. Kedua Perubahan kebudayaan yang dihasilkan dari proyek tersebut seakan jejaring yang menghubungkan multi system dan multi level agricultural involusion [Cliford geertz 1963] yakni suatu kondisi dimana sector pertanian seperti jalan di tempat yang juga sengaja dibut pemerintah. ketiga, pada moment bersamaan sang Gubernur yang atasannya sedang promosi pupuk kimiawi yang dilawan oleh sang Bupati yang menurut beberapa pihak pernyataan pak Bupati hanya bentuk letupan politik.
Keempat, pada hari yang sama kekagetan masyarakat diperkuat dengan munculnya analisis Kompas bahwa 47% lahan produktif di Kab tasikmalaya tak tergarap
Political Will ruh Demokrasi Pangan
Pernyataan di atas bukan hal wajar, namun merupakan sebuah komitmen dalam membangun kemandirian dan ketahanan pangan di Tasikmalaya bahkan hal yang wajib bagi arsitek kedaulatan petani di Tasikmalaya. Hanya saja bila dikaji secara sfesifik empiris menunjukan pernyataan tersebut merupakan komitmen personal karena political will sebagai sumber energi birokrasi tak bersinergi sehingga terjadilah apa yang disebut dengan involusi pangan tadi. Political will inilah yang harus dibangun sebagai system demokrasi pangan demi kedaulatan masyarakat agraris dalam menjawab problematika sistim kepanganan yang semakin kompleks dan menciptakan kesejahteraan.
Tengok saja kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU Nomor 12 1992 tentang Budidaya Tanaman dimana pemerintah tidak bisa mengontrol budidaya pertanian baik komoditas dll sebagai bentuk liberalisasi pertanian. Selanjutnya produktivitas melalui P2BN (Program Peningkatan Produksi beras) yang diikuti dengan penggunaan bibit unggul adalah awal dari kehancuran hazanah local serta 37.500 Ton benih bantuan pemerintah yang tak jelas produktivitasnya kesemuanya harus discounter melalui mekanisme kebijakan.
Persoalan lain yang nampak adalah keputusan dijadikannya 50 Ha lahan pertanian produktif di wilayah Singaparna sebagai ibu
Kemungkinan-kemungkinan terburuk pertanian ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan Pupuk organic dan SRI (system of Rice Intensification) atau pola tanam satu, namum memerlukan system yang utuh dan menyeluruh dimana proses kontruksi dan dekontruksi mesti dilakukan di semua level dan stakeholders dengan semangat yang istilah Presiden Soekarno mesti aanpacken (hidup mati), bila tidak maka akan terjadi malapetaka besar bukannya maju dan sejahtera sebagaimana Visi Kab Tasikmalaya.
Kedua, keengganan untuk menjamin hasil produksi pertanian untuk didistribusikan melalui system pasar yang menjaga karya dan kekayaan hayati adalah bentuk penodaan terhadap demokratisasi pangan. Adakah out let pertanian organic yang mampu melindungi dan menjamin kesejahteraan petani serta menjadi inspirasi bagi petani-petani konvensional? Bukti nyata kebijakan dan perhatian sepenggal terhadap keberlangsungan pertanian di tasikmalaya. Anggaran untuk sector pertanian sebesar 1,3% sangat tidak mencerminkan kesungguhan berinvestasi di dunia agraris.
Ketiga, dari seabreg regulasi yang dibuat belum ada Perda pertanian yang mampu menjamin eksistensi dan intensitas, pembangunan dan pengembangan petani agar mandiri dan sejahtera.
Semangatlah petani.
Kamal al-Martawie S.H.I
- Petani warga Tasikmalaya
- Coordinator LESTARI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar