Senin, 15 Juni 2009

Pesantren Politik; Politik Pesantren

Pesantren Politik; Politik Pesantren

Oleh: Kamal al-Martawie S.H.I*

Pergulatan antara pesantren dengan dunia politik, mendapat ruang yang cukup terbuka dalam lanskap politik Indonesia, apalagi didukung oleh system pemerintahan Indonesia yang tidak didasarkan atas ideologi sebuah agama. Sehingga masyarakat dari latar belakang manapun mempunyai hak yang sama untuk melakukan aktivitas dalam bidang politik termasuk didalamnya institusi pesantren dan seluruh elemen yang ada didalamnya (santri dan Kyai).

Politisasi Pesantren atau ijtihad politik pesantren

Dan kenyataannya, memang banyak pesantren yang terlibat atau melibatkan diri dalam dunia politik. Bahkan, banyak diantara institusi pesantren yang siap mengalirkan suara warganya pada partai atau kandidat tertentu, terutama pada masa-masa “jual kecap” seperti sekarang. Praktek ini tentu tidak bisa kemudian dimaknai sebagai sebuah pengkhianatan moral para penghuni pesantren, namun harus disadari bahwa ini adalah pilihan untuk menentukan sikap (ijtihad) politik karena bagaimanapun pesantren harus memiliki politik atau siyasah/t, hanya saja bagaimana bentuk siyasat atau strategi apa yang dipilih. Ijtihad sosial secara ideal harus dilakukan secara jama’i namun pada kenyataannya sering kali dilakukan secara fardi atau perseorangan. Ada apa?

Penulis mencoba hendak membandingkan institusi pendidikan Islam tradisional yang ada di negeri kita (pesantren) dengan institusi serupa di Iran (Hauzah). Sebagai lembaga pendidikan, Hauzah mempunyai banyak kesamaan dengan pesantren. Mereka juga berpegang teguh pada karya-karya ulama klasik dengan aroma taklid yang sedemikian kental. Dan yang paling kentara adalah nuansa patronase dan dikotomi pendidikan agama-non agama.

Pasca Revolusi 1979, Iran menerapkan system pemerintahan wilayat al-faqih, yang memberikan peluang kepada ulama untuk duduk dalam kursi pemerintahan sebagai dewan ahli atau bagian dari faqih. Karena memang pada awalnya penulisan konstitusi yang memuat aturan mengenai system pemerintahan ini salah satunya dilatarbelakangi oleh keinginan para Mullah untuk kembali ke track politik setelah sekian lama dikecawakan oleh Dinasti Syah Reza.

Perubahan structural ini yang pada akhirnya juga merubah atau lebih pasnya menambah orientasi partisipasi Hauzah dari sekedar lembaga pendidikan menjadi lembaga yang juga aktif dalam bidang politik. Hauzah berlomba-lomba menghasilkan out put yang mempunyai kemampuan dalam dua ranah sekaligus, agama dan politik. Sayangnya, seperti yang diungkapkan Abdolkarim Soroush (2002), Ulama tersebut terkadang overlapped dengan mengklaim kebenaran tunggal. Nah, disinilah kemudian banyak kritik dilancarkan terhadap institusi Hauzah ini.

Bagaimana dengan pesantren?. Dalam banyak hal, terutama dalam model pengajaran dan pola ta`dzim (penghormatan) kepada guru memang dua institusi ini tidak banyak memiliki perbedaan. Hanya saja, eksistensi Hauzah berada dalam telikung system pemerintahan yang memberikan jalan bagi mereka untuk bisa aktif berpartisipasi dalam dunia politik. Ini tentu beda dengan pesantren yang berada dalam koridor system pemerintahan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat agama.

Dalam pandangan penulis, hal ini bisa dimaknai ganda oleh kalangan pesantren. Pertama, system ini memungkinkan bagi seluruh elemen yang ada dalam pesantren untuk berpartisipasi dalam ranah politik, sebagai bagian dari proses demokratisasi (syuro). Karena, bagaimanapun juga demokrasi memberikan hak yang sama bagi seluruh warga negara termasuk dari kalangan pesantren atau institusi keagamaan dan masyarakat setradisional apapun. Kedua, system tersebut, seakan memberikan tugas kepada pesantren untuk lebih berorientasi pada pembenahan dalam segi moralitas. Sehingga aktivitas politik yang sangat rentan menarik konflik laten menjadi konflik terbuka, sebisa mungkin untuk dijauhi. Karenanya, ketika pesantren memilih untuk berkecimpung dalam dunia politik, ini tentu harus dipahami sebagai sebuah pilihan.

Pertanyaannya kemudian, adakah tugas lain yang lebih besar yang harus diselesaikan pesantren sebelum terjun dalam wilayah politik praktis, sementara hal itu justru sebenarnya harus dijadikan prioritas? Apakah politik benar-benar menjadi kebutuhan primer pesantren? Atau pesantren terjangkit penyakit kontemporer yang disebut narcisisme (pencarian kepuasan)?

Untuk menjawab pertanyaan ini nampaknya, kita harus berpikir jernih untuk bisa menangkap apa yang terjadi sebenarnya: Pertama, fenomena ini kemungkinan dilandasi oleh proses ijtihad politik pesantren sebagai bentuk inklusivitas dan komitmen terciptanya kondisi politik yangilmiyyah, bermoral dan universal. Maslahah mursalah menjadi prioritas bagi keberlangsungan laku politik pesantren. Inilah yang dimaksud politik pesantren. Proses ini harus dilalui melalui tahapan pajang misalnya dengan intens diskusi kitab al-ahkamu sulthaniyyah, penelitian sosial dll. Kondisi ini diharapkan akan menjadi kawah candradimuka bagi terciptanya “santri baru” istilah Nurkhaliq Ridwan, yang lebih berkarakter dan mempunyai wawasan dan kemampuan yang luas dalam pelbagai hal

Kedua, ada kecurigaan fenomena ini sebagai by desain untuk merontokan pesantren dengan political instantaneous atau politik keseketikaan yang menjadikan pesantren sebagai bemper yang nantinya justru akan ditinggalkan. Ketiga, mungkin saja muncul dari hasratnya sendiri yang ingin memnfaatkan harismanya demi hasrat personal dengan pola seduksi (bujuk rayu), dan citra bersihnya.

Keempat, re-orientasi atau lebih tepatnya mengukuhkan orientasi, fungsi dan peran pesantren. Selama ini fungsi pesantren terbatas pada wilayah ta`lim atau lembaga pendidikan. Untuk mengimbangi laju perkembangan, sudah selayaknya pesantren juga berfungsi dalam konteks ta`dib. Artinya, pesantren harus bisa memerankan diri sebagai jangkar atau patokan bagi terbentuknya sebuah peradaban umat Islam yang inklusif dan toleran. Selain ta’lim dan ta’dib pesantren juga diharapkan menjadi tajdid yang membawa perubahan dan membebaskan umat manusia. Kalau pesantren melakukan ijtihad syiyasah tentu agar utuh pesantren juga jangan melupakan ijtihad diniyyah, maliyah dan ijtima’iyyah. Meminjam istilah Gus Dur bahwa pesantren harus menjadi ikon transformasi sosial.

Sepertinya tidaklah haram para kyai, santri dan seluruh elemen pesantren berpolitik praktis bahkan dalam kondisi tertentu berpolitik menjadi sebuah kewajiban yang sifatnya kifayat (kolektif) namun suatu perbuatan terlaknat bila persoalan utama keumatan diabaikan apalagi pesantren hanya menyentuh masyarakat hanya pada momentum politik saja. Bagaimana jadinya jika muharaman hanya dijadikan momentum konsolidasi politik saja bukan sebagai penguatan struktur dan supra struktur masyarakat?

Dengan mengaca pada kelemahan itulah, maka peran mereka di lanskap politik harus kembali dipertimbangkan. Tanpa mengurangi hak mereka dalam mengeluarkan pendapat, atau berusaha merobohkan fondasi demokrasi, harus diakui, ternyata masih banyak masalah intern yang harus diselesaikan oleh institusi ini. Begitupun ramadhan yang suci jangan dikotori oleh kyai dan pesantren dengan membuka politisi untuk berkoar dan konsolidasi dengan kemasan tarling dan lain sebagainya. Dan point-point itulah yang juga bisa menjadi bahan untuk mereparasi Hauzah/pesantren dalam skala yang lebih luas. Walhasil, jika problem intern ini sudah selesai, maka, welcome to the political zone.

Wallahu Yuwaffiquna Fimaa Yuhibbuhu Wayardlah

Kamal al-Martawie S.H.I

  • Mantan Ketua Umum PMII Kab Tasikmalaya
  • Wakil Sekretaris DPD KNPI Kab Tasikmalaya
  • Coordinator LESTARI.

Terbit radar 27 april 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar